UNI Eropa menggugat Indonesia ke WTO terkait larangan ekspor bijih nikel yang mulai berlaku 1 Januari 2020. Permintaan konsultasi delegasi Uni Eropa kepada delegasi Indonesia, disampaikan kepada Dispute Settlement Body (DSU) sesuai dengan Pasal 4.4 DSU. Uni Eropa mengklaim bahwa larangan ekspor Indonesia, persyaratan pemrosesan dan pemasaran dalam negeri. Serta persyaratan perizinan ekspor yang berlaku untuk bahan mentah, termasuk nikel, bijih besi, kromium, batu bara, limbah logam, skrap, kokas. Tidak sesuai dengan Pasal XI:1 General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1994. Uni Eropa juga mengklaim skema pembebasan bea masuk merupakan subsidi yang bergantung pada penggunaan barang-barang domestik atas impor yang dilarang berdasarkan Pasal 3.1 b) Perjanjian tentang Subsidi dan Tindakan Penyeimbang/Agreement on Subsidies and Countervailing Measures (ASCM). Di antara negara-negara produsen utama, Rusia, Kanada dan Australia memiliki rantai nilai nikel yang relatif terintegrasi, menghasilkan proporsi bijih dan logam yang sebanding (rata-rata 11-15 persen).

Sedangkan Indonesia adalah produsen bijih tunggal (ore) terbesar selama dekade 2004-2013, mewakili 19 persen dari total dunia. Namun di sisi lain menghasilkan bagian logam nikel yang jauh lebih kecil, yaitu lima persen….Read More

Share